Jelajah Garut..Charlie Chaplin, komedian bintang Hollywood, Amerika Serikat, dua kali menjejakkan kakinya di Stasiun Cibatu, Garut. Pria berkumis petak itu, pada masa jayanya di layar hitam putih, memang mengunjungi Garut, yaitu pada tahun 1927 dan 1935.
Untuk apa? Ya berlibur. Sekadar mengingat, Garut dengan nuansa pegunungannya pernah berjuluk ”Swiss van Java”.
Pada kunjungan pertama, Chaplin ditemani aktris Kanada pemenang Oscar, Mary Pickford. Sementara pada kunjungan kedua, dia ditemani sang istri, Paulette Goddard, pemeran utama perempuan dalam film Modern Times dan The Great Dictator 2.
Selain Chaplin, tokoh lain yang tercatat menjejakkan kaki di Stasiun Cibatu adalah Perdana Menteri Perancis Georges Clemenceau pada tahun 1920-an.Beliau adalah pendiri koran La Justice (1880), L’Aurore (1897), dan L’Homme Libre (1913); sekaligus penulis politik terkemuka. Clemenceau menjadi perdana menteri dalam dua periode, yakni 1906-1909 dan 1917-1920.
Dalam buku Seabad Grand Hotel Preanger 1897-1997, Haryoto Kunto menulis, tahun 1935-1940 setiap hari di Stasiun Cibatu diparkir selusin taksi dan limousine milik hotel-hotel di Garut, di antaranya Hotel Papandayan, Villa Dolce, Hotel Belvedere, Hotel Van Hengel, Hotel Bagendit, Villa Pauline, dan Hotel Grand Ngamplang. Garut memang indah, dikelilingi Gunung Papandayan, Cikuray, dan Guntur. Terdapat pula situ dan Candi Cangkuang, Situ Bagendit, serta permandian-permandian air panas.
Menjelang Lebaran, di bulan puasa ini singgah dulu di Stasiun Cibatu juga tak ada ruginya. Tak jauh dari tempat itu ada Masjid Mbah Wali di Kampung Pasantren Tengah, Cibiuk, dan Makam Syekh Ja’far Shidiq di Cipareuan, Cibiuk, untuk wisata ziarah.
Masih di Stasiun Cibatu, pada tahun 1946, kereta luar biasa Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta juga transit saat menghantarkan mereka ke Garut, ditemani Ibu Fatmawati dan Rachmi Hatta.Ketika itu, selain jalur rel barat-timur—yang kini masih beroperasi—jalur rel dari Stasiun Cibatu-Garut-Cikajang (ke arah Garut selatan) juga masih aktif. Jalur ke Cikajang inilah yang menjadi favorit wisatawan, dengan lima jadwal keberangkatan kereta lokomotif uap setiap hari.
Bicara soal lokomotif uap, Stasiun Cibatu juga ”juaranya”. Stasiun kelas 1 itu pernah menjadi salah satu depo lokomotif uap terbesar di Jawa-Sumatera sebelum ditutup tahun 1983. Kata Amin (54), pegawai Cibatu, depo itu pernah mempekerjakan 700 teknisi untuk memelihara 100- 150 lokomotif uap setiap hari.
Rumah-rumah tua dengan daun-daun jendela yang lebar dan langit-langit yang tinggi di sekitar stasiun adalah saksi bisu kejayaan Stasiun Cibatu.
Sepi
Hari ini, tiada yang luar biasa dari stasiun Cibatu. Tembok putihnya kusam, sepi, dan bangunannya minim fasilitas. Kereta yang berhenti tidak banyak, hanya empat rangkaian kereta jarak jauh ditambah satu kereta ekonomi lokal (Cibatu-Purwakarta).
”Saya mau naik kereta ekonomi lokal ke Purwakarta. Ada keluarga saya yang tinggal di sana,” kata Lilis (46) yang asli Cibatu. Lilis dan putri bungsunya telah menunggu 30 menit, tetapi loket belum dibuka.
Entah kenangan apa yang hinggap di benak Lilis yang dilahirkan tahun 1960-an itu?
Masihkah dia mengenang kejayaan Stasiun Cibatu? Entahlah, tapi bagi kami, generasi yang terlahir tahun 1980-an, kenangan manis Stasiun Cibatu hanya didengar dari cerita orang tua atau membacanya dari literatur.
Bagaimana nanti bila generasi orangtua kami mangkat? Sebaiknya dipikirkan upaya untuk merevitalisasi stasiun, dimulai dengan lebih banyak melengkapi informasi.
Mengapa tidak memajang foto Charlie Chaplin dengan sedikit narasi di dinding stasiun? Rangsanglah kebanggaan atas prasarana stasiun itu.
Dengan mengetahui sejarah stasiun-stasiun, semoga kita bisa lebih menghargai, lebih menjaga sarana dan prasarana transportasi kita.
Komentar
Posting Komentar