Punclut Bandung, Sebuah Surga Kuliner di Malam Hari

Penyambung Titik Kejayaan Batik Garutan

Oleh : Mia Winarti Syaidah
Jelajah Garut .. Lenny Lestari Dewi (24) warga Galumpit Sasak kabupaten Garut, tak menyangka. Keinginannya untuk memproduksi batik garutan harus tertunda.

Pasalnya, dia mendapati kenyataan Sumber Daya Manusia (SDM) yang lihai dalam membatik di wilayah Garut menurut Lenny sudah sangat kurang. “Di Garut kini pengrajin batik sekaligus bergelut dalam usaha batik hanya tinggal tiga orang,” ujarnya ketika ditemui belum lama ini.

Makin sedikitnya para pengrajin tersebut menurut Lenny, lantaran anggapan masyarakat yang masih “kolot” terhadap batik. “Mereka menganggap batik itu murahan, ngolot dan jauh dari kesan modern, sehingga sedikit sekali generasi muda yang tertarik untuk menekuni bidang ini,” ujar Lenny lagi.

Padahal seiring penobatan batik pada 2 Oktober 2009 lalu oleh United Nations Educational Scientific and Cultural Organization is (UNESCO). Euforia batikpun sedikitnya telah membawa angin segar bagi para pengrajin batik. Untuk batik garutan saja, permintaannya terus mengalami peningkatan. “Rata-rata pesanan banyak dari luar, seperti Palembang dan Kalimantan yang banyak memesan corak bunga dan hewan,” tambah Lenny.

Menapaki jejak sejarah kebudayaan yang bisa bertahan belasan tahun memang tak mudah. Sejalan dengan perkembangan zaman, jejak kebudayaan terus menerus mengalami perubahan. Begitupun dengan batik.

Sebagai warisan budaya, batik di Indonesia memang sangat beragam. Setiap daerah memiliki corak khas yang mewakili indentitas daerahnya masing-masing, tak terkecuali Garut.

Di tengah membludaknnya batik di pasaran. Batik Garutan tak kalah pamor dari batik buatan daerah lain. Warnanya yang cerah dan coraknnya yang flesibel membuat batik Garutan banyak diminati para pecinta batik dan konsumen fashion.

“Batik garutan punya ciri khas tersendiri, corak bilik dan warna biru menjadi identitas yang ditonjolkan para pengrajin batik garutan,” jelas Lenny.



Di tahun 1967-1985 batik garutan mengalami masa kejayaan. Pengrajinnya mencapai 126 pengrajin yang tersebar di berbagai kota di Garut. Batik garutan sendiri sudah dikenal semenjak abad abad ke 18, tahun 1871-1915 di Panembong oleh orang Belanda bernama K.F Holle.



Namun kejayaan itu tak bertahan lama. “Sekarang para pengajin batik tak lebih dari 20 pengrajin, itupun didominasi oleh orang tua, sisa-sisa zaman dulu,” ujar Lenny.

Membaca ancaman tersebut perempuan asli garut lulusan Universitas Garut jurusan akutansi ini kemudian memutuskan menjadi pengrajin batik dan memberikan pelatihan skill membatik secara gratis kepada warga Garut ketimbang bekerja sesuai jurusannya itu.

“Saya ingin mengembalikan kejayaan batik garutan lagi, karena kampung batik saja di Garut ini belum ada,” ujar Lenny lagi. Alasan itu pula yang mendorong Lenny mendirikan Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP) batik Swisse Van Java tiga tahun silam.

Usaha Lenny sedikit membuahkan hasil. Di rumah bambu kecil dengan bahan-bahan batik yang ia beli dari Tasikmalaya. Kini SDM hasil didikan di lembaganya itu mencapai 20 orang. “Kebanyakan anak-anak sekolah dan warga sekitar,” tegasnya.

Menurut Lenny, walaupun pemerintah sudah membantu dalam melestarikan batik garutan, namun para pengrajin masih cukup kesulitan mengembangkan usaha batik garutan. Selain kekurang SDM, para pengrajin pun kekurangan bahan baku dan pendanaan. “Kalau pemerintah mau serius memberdayakan pengrajin batik, usul saya pemerintah harus mengadakan koperasi batik di Garut,” ujarnya lagi.

Jangan Tertipu Batik Palsu

Namun sayang, selain geliatnya yang masih tertatih-tatih. Euforia batikpun membuat persaingan batik dikalangan pengusaha batik semakin ketat. Tak ayal, hal ini kadang membuat batik Indonesia kalah pamor dengan batik luar. Alih-alih karena lemahnnya daya saing, harga dan produksi, membuat para pengrajin dan pengusaha batik banyak yang berguguran.

Disisi lain, dengan adanya pasar bebas, batikpun tak lepas dari produk-produk bajakan. Sehingga banyak konsumen batik yang tidak mengenal batik dengan seksama malah menjadi korban.

Hal itu menurut Lenny karena anggapan masyarakat yang masih keliru tentang batik. “Banyak masyarakat yang beranggapan kalau kain bermotif parang, atau bunga itu batik, padahal belum tentu,” jelas Lenny

Lenny menambahkan, batik berbeda dengan motif batik. “Kita bisa bedakannya dari kata “batik” itu sendiri,”

Batik (atau kata Batik) berasal dari bahasa Jawa “Amba” yang berarti menulis dan “titik”. Kata batik merujuk pada kain dengan corak yang dihasilkan oleh bahan “malam” (wax) yang diaplikasikan ke atas kain, sehingga menahan masuknya bahan pewarna lain. “Jadi batik itu coraknnya pakai perantara malam, kalau pake bahan kimia itu bukan batik tapi motif batik,” paparnya.

Soal harga, batik garutan masih terhitung ramah di kantong. Dengan uang Rp.40000,- sampai Rp.80000,- rupiah sudah bisa membawa pulang batik prin dan batik cap. Sedangkan untuk batik tulis, karena proses dan pembuatannya yang membutuhkan skill dan waktu yang lebih, dihargai Rp.400.000,- sampai Rp.500.000,- rupiah. “Tergantung corak dan kerumitannya, makin rumit biasanya makin mahal,” ujarnya. Kejelian para pembeli dan kolektor batik menurut Lenny sedikitnya bisa menyelamatkan para pengrajin batik di nusantara. “Dengan begitu kita tidak akan kalah saing dengan produk bajakan dari luar, sehingga dapat menyambung titik-titik indentitas batik kita ke masa depan,” pukasnya.sumber

Komentar