Konon, di Jawa Barat tak ada candi. Namun, keberadaan Candi Cangkuang mematahkan pernyataan tersebut. Meski belakangan muncul kontroversi mengenai candi ini.
Tak menyurutkan kehadiran para turis untuk merasakan kemagisan Candi Cangkuang.
Candi terletak di sebuah pulau kecil di tengah Danau Cangkuang tersebut, berada di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Garut, Jawa Barat. Inilah salah satu daya tarik pariwisata Garut. Jika Jawa Tengah punya Candi Prambanan, Jawa Barat hadir dengan Candi Cangkuang.
Ya, keduanya merupakan candi dengan latar belakang agama Hindu. Candi Cangkuang setinggi hampir sembilan meter, memiliki pintu masuk ke dalam candi. Jika beruntung, Anda bisa masuk ke dalam candi. Mintalah izin dari petugas setempat.
Di dalam, tinggi ruangan hanya dua meter dan luasnya sekitar tiga meter persegi. Di tengah ruangan, ada patung Siwa, konon berasal dari abad ke-8.
“Orang-orang yang ziarah ke sini, terutama dari Bali, bilang kalau energinya sangat kuat,” ungkap Zaki, petugas
Disbudpar Garut, bekerja di Candi Cangkuang.
Candi Cangkuang memang begitu magis dan ibarat misteri yang berusaha disingkap. Tak ada yang tahu pasti kapan tepatnya ia berdiri, pun siapa pembuatnya. Satu hal yang pasti, tatar (tanah) Sunda pernah menjadi lokasi kerajaan-kerajaan Hindu yang tua.
Area candi ini ditemukan 1966. Sayangnya saat proses restorasi, batu-batu untuk membangun ulang candi banyak bukan batu aslinya. Anda bisa membedakan mana batu asli dan batu baru. Karena itu, semakin misterilah Candi ini. Bentuk asli candi tak pernah ada yang tahu.
Foto : ist
Islam di Cangkuang
Jika Anda berkesempatan datang ke Candi Cangkuang, coba perhatikan persis di belakang candi terdapat sebuah makam Islam. Makam tersebut, makam Arif Muhammad. Seorang prajurit dari Kerajaan Mataram yang datang ke desa ini dan menyebarkan agama Islam ke penduduk setempat.
Awalnya, penduduk di Desa Cangkuang memeluk kepercayaan animisme dan dinamisme. Kemudian memeluk Hindu. Makam bersanding dengan Candi Cangkuang ini semacam bukti toleransi masyarakat nusantara sejak masa lampau. Nilai-nilai toleransi sepertinya makin menyurut di masa kini.
Bangunan masjid yang dibangun Arif Muhammad pada masa itu, masih ada hingga saat ini. Konon, danau Cangkuang pun terbentuk dari usaha Arif Muhammad membuat bendungan kebutuhan wudhu. Sampai saat ini, keturunan Arif Muhammad masih menetap di Kampung Pulo.
Masjid tersebut, simbol dari anak laki-laki Arif Muhammad. Masjid berada di ujung jalan, tepat di tengah-tengah, seakan sebagai kepala bangunan kampung.
Sementara di sisi kanan dan kiri terdapat enam rumah adat.
Di rumah-rumah adat inilah, keturunan Arif Muhammad masih menetap. Arif Muhammad memiliki tujuh anak, enam anak perempuan dan satu anak laki-laki. Keenam rumah tersebut ditempati anak-anak perempuan Arif Muhammad.
Ada sebuah tradisi di adat Sunda, rumah diwariskan ke garis anak perempuan. Rumah-rumah adat ini pun masih asri. Sebuah rumah letaknya terdekat dengan masjid, masih benar-benar sesuai aslinya. Rumah terbuat dari bambu dengan teras berada di depan.
Pengunjung bisa saja masuk ke dalam rumah jika ingin mengetahui lebih dalam mengenai keantikan rumah-rumah. Tentu saja, jangan asal masuk. Ucapkan salam dan minta izin dengan sopan ke pemilik rumah.
Wisatawan yang hendak masuk ke area Candi Cangkuang, pasti melewati kampung ini. Sebuah akulturasi terjadi dengan tetap melakukan adat penduduk setempat. Salah satunya larangan untuk tidak berziarah di hari Rabu.
Kelar keliling di Kampung Pulo dan Candi Cangkuang, pengunjung bisa mampir ke museum berada di dekat candi. Di museum, Anda bisa melihat kitab-kitab kuno bertuliskan aksara Arab. Oleh petugas setempat, pengunjung juga dijelaskan cara pembuatan kertas dari kulit kayu.
Menuju Cangkuang
Sangat mudah melakukan perjalanan ke Candi Cangkuang dari Jakarta. Cukup arahkan perjalanan ke Garut. Candi ini sendiri berada di tengah Danau Cangkuang seluas dua hektar.
Nah, mencapai Candi Cangkuang, pengunjung harus menyebrangi danau dengan naik rakit bambu. Cukup membayar Rp4 ribu untuk pergi dan pulang naik rakit. Bisa juga sewa rakit jika pergi dalam rombongan berjumlah besar.
Sebelumnya, beli dulu tiket masuk seharga Rp3 ribu. Jangan hilangkan tiket ini, karena nanti diminta kembali saat berada di kawasan candi.
Naik rakit bambu juga memberi kesan tersendiri. Danau tenang dengan gunung sebagai latar belakang, menyuguhkan panorama cantik bagi mata. Apalagi rakit dijalankan dengan cara unik, yaitu menggunakan sebilah bambu panjang.
Bambu ini sebagai dayung. Tetapi, alih-alih mendayung, bambu sepanjang tiga meter itu dihujamkan ke dasar danau, sebagai pijakan untuk mendorong rakit. Sesampai di pulau kecil, pengunjung pun berjalan melewati kios-kios suvenir.
Ada beragam suvenir dijual. Tentu saja yang unik hiasan dari kayu dengan figur Candi Cangkuang. Ada pula miniatur rakit bambu. Pilihan lain gantungan kunci figur ikonik berupa Candi Cangkuang. Ya, Candi Cangkuang memang ikon wisata di Garut. Ia seakan membuktikan “urang” (orang) Sunda pun punya candi.
Ni Luh Made Pertiwi F | A. Wisnubrata. (Kompas.com).
Komentar
Posting Komentar